Pada suatu hari, ada seorang petani yang harus mengurus soal perjanjian.
Ia membutuhkan jasa hakim untuk menandatangani surat perjanjian itu.
Hakim desa mengatakan, bahwa ia tidak punya waktu untuk menandatangani
surat perjanjian itu, tetapi berjanji akan menandatangani di esok harinya.
Ketika si petani dating di gedung pengadilan esoknya, hakim mengatakan tak
punya waktu, “Besok pagi saja, saya sedang sibuk!” katanya kepada si petani.
Hal ini terjadi secara berulang-ulang selama beberapa hari, sehingga akhirnya
si petani menyimpulkan bahwa si hakim minta di suap. Hal ini tentu membuat si
petani marah. Tetapi ia sangat membutuhkan tanda tangan si hakim itu.
Akhirnya si petani datang di keesokan harinya, tentu setelah menyiapkan
hadiah kepada hakim itu. Ia menyiapkan sebuah gentong dan hampir seluruh
gentong itu ia is dengan kotoran sapi. Diatas kotoran sapi itu, ia menutupinya
dengan olesan mentega lezat yang beberapa sentimeter tebalnya.
Gentong itu dibawa ke kantor pak hakim, di serahkanya sebagai tanda
terima kasih. Langsung saja, pak hakim menjadi tidak sibuk dan mempunyai waktu
untuk menandatangani surat perjanjian milik si petani. Setelah si petani telah
memegang surat dengan tanda tangan pak hakim, timbul keberanianya untuk
bertanya: “Tuan hakim, apakah anda pantas menerima gentong mentega itu sebagai
ganti atas tanda tangan anda?”
Sang hakim tersenyum dan menjawab: “Ah, kau ini. Janganlah terlalu
mendalam memikirkanya.” Lalu hakim itu mencolek sedikit mentega dalam gentong
itu dan mencicipinya. “ Wah, enak sekali metega yang engkau bawa.” Komentarnya.
“Yah, sesuai dengan ucapan tuan, jangan terlalu mendalam mencolek
menteganya.” Jawab si petani sambil segera meninggalkan kantor itu.