Selasa, 20 Januari 2015

Cerpen: Dongeng Tentang Yeh Hsien

















Sebelum zaman Chin dan Han, antara tahun  222 sampai 206 sebelum masehi, hidup seorang pemimin sebuah gua yang oleh penduduk sekitarnya disebut Pendeta Gua Wu.

Dia memiliki dua orang istri. Salah seorang dari istrinya meninggal dunia dengan meninggalkan bayi perempuan bernama Yeh Hsien. Setelah menginjak masa remaja gadis ini sangat cerdik dan pandai menbuat barang-barang dari emas, dan ayahnya sangat saying padanya. Hingga tibalah kematian ayahnya, ia diperlakukan dengan semena-mena oleh ibu tirinya. Sering ia diperintahkan untuk menebang kayu, dan diperintah untuk menimba air dari sumber-sumber yang dalam.

Pada suatu hari is berhasil menangkap seekor ikan yang ukuranya sekitar dua inchi. Sirip ikan itu berwarna merah serta matanya keemasan. Dibawanya ikan itu pulang dan dimasukan kedalam sebuah bak air.

Semakin hari ikan itu semakin membesar, hingga bak air itu tidak lagi cukup untuk seekor ikan itu. Lalu Yeh Hsien memindahkan ikan itu kedalam sebuah kolam dibelakang rumahnya. Ia member makan ikan itu dengan sisah makananya sendiri.

Apabila ia datang kekolam, munculah ikan peliharaanya ke permukaan air dan meletakan kepalanya ditepian kolam. Akan tetapi abalila orang lain yang datang, ikan itu tidak mau menampakan diri.

Keanehan ini juga disadari oleh ibi tiri yang sering menunggui ikan itu ditepian kolam. Namun tidak pernah sekalipun ikan itu menampakan dirinya. Oleh karena itulah pada suatu hari ibu tirinya mengatur sebuah siasat. Berkata ia kepada Yeh Hsien, “ Kau tidak lelah bekerja? Aku akan memberikanmu pakaian baru. “ kemudian ia menyuruh Yeh Hsien menukar pakaianya dan menyuruhnya kesumur lain yang jauh. Lalu ibu tiri memakai pakaian Yeh Hsien. Dengan pisau tajam terselip di lengan bajunya, ia pergi ke pinggiran kolam dan memanggil ikan peliharaan anak tirinya. Dan dibunuhnya ikan itu ketika muncul dipermukaan.

Pada saat itu panjang ikan sudah mencapai sepuluh kaki lebih, dan ketika dimasak rasanya jauh lebih lezat daripada ikan biasa. Selanjutnya si ibu tiri menyembunyikan tulang-tulangnya didalam tumpukan kotoran.

Sore hari Yeh Hsien baru kembali kerumah. Ketika ia pergi kekolam, ikanya tak pernah muncul lagi. Ia mulai menangis hingga seorang lelaki berambut kusut dan berpakaian compang-camping, turun dari puncak gunung  menghiburnya sambail berkata, “ jangan menangis. Ibu tirimulah yang telah membunuh ikan peliharaanmu dan tulang-tulangnya disembunyikan dibawah tumpukan kotoran. Pulanglah! Bawa tulang-tulang itu kekamarmu dan sembunyikan. Apapun yang kamu inginkan akan terjadi apabila kamu mengatakanya apada tulang-tulang tersebut.”

Yeh Hsien menuruti nasehat itu. Tidak lama kemudian ia mulai memiliki bermacam-macam perhiasan emas dan permata yang indah. Yang tentu saja membuat setiap wanita ingin memilikinya.

Pada malam festival Gua, Yeh Hsien diperintahkan untuk tinggal di rumah penjaga kebun buah-buahan. Namun, setelah ibu tirinya pergi, ia merasa kesepian. Ia lalu berdandan, dengan pakaian sutra hijau ia menghadiri pesta itu.

Didalam pesta, ibu tirinya mengenali Yeh Hsien. Ketika Yeh Hsien menyadari bahwa ia diperhatikan, ia segera lari dari tempat itu. Karena terburu-buru, salah satu sepatunya tertinggal, yang kemudian ditemukan oleh seorang penduduk Gua.

Setiba dirumah, ibu tirinya menemukan Yeh Hsien sedang tidur sambil memeluk sebatang pohon. Ia tidak ragu-ragu lagi akan kemiripan Yeh Hsien dengan gadis yang perpakaian sutera hijau yang dilihatnya di pesta tadi.

Sementara itu penemu sepatu Yeh Hsien menjual temuanya ke kerajaan T’o  Huan. Dan barang itu akhirnya sampai ketangan raja. Sang raja memerintahkan kepada seluruh wanita dikerajaanya unutuk mencoba memakainya. Namun, tak satupun dari meraka cocok memaikainya.

Akhirnya sepatu itu diletakan di tepi jalan. Para pesuruh diperintahkan untuk memeriksa setiap rumah, serta untuk memeriksa siapa saja yang menyimpan pasangan sepatu tersebut. Raja benar-benar dibuat penasaran dengan kejadian tersebut.

Seluru rumah penduduk sudah digeledah dan Yeh Hsien di ketahui menyimpan pasangan sepatu tersebut. Diperintahkanya ia untu mencobanya dan ternyata pas. Dengan mengenakan pakaian sutera yang berwarna hijau Yeh Hsien berubah bagai seorang dewi. Raja membawa Yeh Hsien ke istana bersama tulang-tulang ikan milik gadis itu.

Sepeninggal Yeh Hsien, ibu tiri dan saudara tirinya mati tertimpa longsoran batu dari atas gunung. Penduduk Gua merasa iba kepada mereka dan mengubur jenazahnya didalam lubang yang diberinisan bertuliskan “Perempuan-perepuan yang menyesal”. Penduduk Gua memuja mereka sebagai dewi perjodohan, dan siapa saja yang memohon karunia dalam hal perkawinan pasti akan terlaksana.


Sang Raja kemudian menjadikan Yeh Hsien  sebagai permaisurinya. Selama tahun pertama pernikahan mereka, sang raja begitu banyak meminta kepada tulang-tulang milik Yeh Hsien batu-batu permata dan benda –benda mahal lainya, sehingga permintaan tidak terkabul lagi. Ia lalu mengambil tulang-tulang itu dan menanamnya didekat laut bersama dengan seratus takaran gandum sekitar 36 liter berisi mutiara dan sejumlah emas.

Sabtu, 09 November 2013

Humor Sufi: Sering-seringlah Membuatku Marah














Suatu hari, Nasrudin dan istinya bertengkar hebat. Sangking dahyatnya pertengkaran itu, si istri sampai kabur kerumah tetangganya. Pada waktu itu, kebetulan si tetangga sedang mempunyai hajat perkawinan. Nasrudin yang marah besar, memburu istrinya ke acara tersebut.

Si tetangga dengan sabar mencoba melerai sepasang suami istri tersebut. Mereka hawatir jika mereka akan mengganggu pestanya. Maka, si tetangga memberi Nasrudin dan istrinya makan minum sepuasnya, dan dihiburnya hingga perseteruan itu mereda.

Setelah pertengkaran mereda, Nasrudin dan istrinya pun kembali kerumah. Nasrudin berbisik kepada istrinya, “Ada baiknya juga kau sering-sering membuatku marah, agar hidup ini agak nikmat dijalani.”

Jumat, 08 November 2013

Humor Sufi: Ramalan Kematian
















Nasrudin berada diatas pohon sedang menggergaji dahan. Ada orang berteriak, “Hey, awas jatuh kau nanti! Kau mestinya tidak duduk di ujung dahan itu!”.

“Apa aku ini tolol harus mempercayai ucapanmu? Apakah kau ini sebenarnya tukang ramal?” teriak Nasrudin.

Beberapa saat kemudian, dahan itu patah digergaji, dan tentu saja Nasrudin pun ikut jatuh. Ia langsung bangkit memburu orang lewat tadi, katanya, “ Wah, ramalanmu tepat! Aku jatuh! Nah, sekarang katakan, kapan aku akan mati?”.

Orang itu menjelaskan bahwa ia bukan peramal, namun Nasrudin ngotot bahwa ia tentu peramal. Akhirnya karena kehabisan kesabaran karena tak tahan dengan tingkah Nasrudin, orang itupun berkata “Kau mati sekarang juga!”.

Detik itu juga Nasrudin jatuh dan tak bergerak. Tetangganya berdatangan dan mengurusnya layaknya jenazah orang yang meninggal. Mereka memasukanya ke keranda dan mengantarkanya ke kuburan. Ditengah perjalanan menuju ke kuburan, mereka berdebat tentang jalan terdekat menuju kuburan itu. Pertengkaran memuncak, dan Nasrudin yang berada diatas keranda merasa jengkel. Ia mengeluarkan kepalanya dari keranda dan berkata, “ Ketika dulu aku masih hidup, jalan yang belok ke kiri itulah yang paling dekat!”.

Humor Sufi: Hakim dan Empat Puluh Saksi















Suatu hari, seorang kaya bermaksud untuk mengajukan sebuah perkara ke pengadilan. Karena sangat ingin memenangkan perkara, orang kaya itu mengirim satu baki kue baklava kepada hakim. Kue itu berjumlah empat puluh buah, ditempatkan pada sebuah baki besar. Dibawah masing-masing kue itu, si orang kaya meletakan sekeping uang emas.

Pembantu hakim menerima baki kue itu dari pembantu si orang kaya, lalu membawanya ke ruang atas kepada si hakim. Ketika membawa baki penuh kue itu, pembantu hakim tak kuat menerima godaan kue-kue itu dan terpaksa mencicipinya sebuah. Tentu saja ia menemukan keping uang emas dibawah kue itu dan memasukanya ke sakunya. Namun, si pembantu hakim tak mampu menahan perasaanya dan mengambil lagi hingga menghabiskan empat kue dan dengan demikian ia juga mengantongi empat keping uang emas. 

Hari berikutnya sidang dilangsungkan, dan hakim memanggil saksi dari masing-masing yang kena perkara. Ketika ia memanggil saksi-saksi dari orang kaya itu, tak seorangpun yang muncul. Hakim pun bertanya pada si orang kaya, “ Mana saksi-saksimu?.”

“Tuan hakim, kemarin saya mengirim empat puluh saksi kerumah tuan untuk diperiksa.”

“Ah, ya. Sekarang saya ingat. Tetapi, engkau keliru tentang jumlahnya. Yang dating kerumahku hanya tiga puluh enam.”

Si pembantu hakim yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan itu menyadari pencurianya telah diketahui. Ia pun segera berkata, “Maaf pak hakim, empat saksi yang lain sudah begitu tua dan lemah sehingga tidak bisa lagi menaiki tangga. Saya telah mendengarkan keterangan dari mereka, dan nanti akan segera saya laporkan kepada anda!.”

Rabu, 06 November 2013

Humor Sufi: Karena Aku Pernah Tertipu

Pada suatu hari, seorang tetangga meminjam uang kepa Nasrudin. Ia memang dikenal suka pinjam uang dan tidak pernah mengembalikan uang yang dipinjamnya. Jadi Nasrudin berfikir bahwa tentu uangnya tak akan dikembalikan jika ia meminjamkan uangnya tersebut kepada tetangganya itu. Tapi akhirnya Nasrudin meminjamkanya juga.

Dan diluar dugaan sebelumnya, si tetangga itu malah mengembalikan uang pinjamanya dikemudian hari. 

Beberapa hari kemudian, tetangga itu kembali lagi kerumah Nasrudin untuk meminjam uang yang lebih besar lagi jumlahnya. Katanya “Saudara tahu, saya ini orangnya dapat dipercaya! dulu saya meminjam uang dan dengan segera mengembalikanya bukan?.”

“Namun kali ini saya tidak bisa! “ jawab Nasrudin tegas. “Dulu itu kamu telah menipuku! Aku pikir kau tak akan membayar, eh tapi malah membayarnya. Kau tak akan bisa menipuku lagi kali ini.”

Humor Sufi: Dia yang Menggigit Telinga Saya

Pernah Nasrudin diangkat menjadi seorang hakim di desanya. Suatu hari, ia dihadapkan dengan suatu masalah yang sangat pelik.

Dalam suatu perkara penganiayaan, sang korban menyatakan bahwa si terdakwa telah menggigit telinganya. Namun, si terdakwa membela diri dan ngotot bahwa si korbanlah yang telah menggigit telinganya sendiri.
“Wah, ini perkara pelik, hmmm… dua keterangan saling bertentangan dan saksi pun tidak ada.” Kata Nasrudin. Ia pun berpikir sejenak dan menghentikan  sidang selama setengah jam.

Nasrudin segera meninggalkan ruang sidang dan masuk ke ruang sebelah untuk berfikir. Disana ia mencoba menggigit telinganya sendiri. Setiap kali ia mencobanya , ia kehilangan keseimbangan dan jatuh terguling. Ia mengulanginya hingga kepalanya benjol-benjol.

Sidang dimulai kembali, Nasrudin berkata: “Coba periksa kepala si korban! Jika kepalanya benjol-benjol, berarti ia telah menggigit telinganya sendiri dan maka ia telah berdusta dipersidangan ini. Kalau kepalanya masih mulus, maka si terdakwa benar-benar menggigit telinga si korban.”


Humor Sufi: Jangan Mencolek Terlalu Dalam














Pada suatu hari, ada seorang petani yang harus mengurus soal perjanjian. Ia membutuhkan jasa hakim untuk menandatangani surat perjanjian itu. 

Hakim desa mengatakan, bahwa ia tidak punya waktu untuk menandatangani surat perjanjian itu, tetapi berjanji akan menandatangani di esok harinya. Ketika si petani dating di gedung pengadilan esoknya, hakim mengatakan tak punya waktu, “Besok pagi saja, saya sedang sibuk!” katanya kepada si petani. Hal ini terjadi secara berulang-ulang selama beberapa hari, sehingga akhirnya si petani menyimpulkan bahwa si hakim minta di suap. Hal ini tentu membuat si petani marah. Tetapi ia sangat membutuhkan tanda tangan si hakim itu.

Akhirnya si petani datang di keesokan harinya, tentu setelah menyiapkan hadiah kepada hakim itu. Ia menyiapkan sebuah gentong dan hampir seluruh gentong itu ia is dengan kotoran sapi. Diatas kotoran sapi itu, ia menutupinya dengan olesan mentega lezat yang beberapa sentimeter tebalnya. 

Gentong itu dibawa ke kantor pak hakim, di serahkanya sebagai tanda terima kasih. Langsung saja, pak hakim menjadi tidak sibuk dan mempunyai waktu untuk menandatangani surat perjanjian milik si petani. Setelah si petani telah memegang surat dengan tanda tangan pak hakim, timbul keberanianya untuk bertanya: “Tuan hakim, apakah anda pantas menerima gentong mentega itu sebagai ganti atas tanda tangan anda?”

Sang hakim tersenyum dan menjawab: “Ah, kau ini. Janganlah terlalu mendalam memikirkanya.” Lalu hakim itu mencolek sedikit mentega dalam gentong itu dan mencicipinya. “ Wah, enak sekali metega yang engkau bawa.” Komentarnya.

“Yah, sesuai dengan ucapan tuan, jangan terlalu mendalam mencolek menteganya.” Jawab si petani sambil segera meninggalkan kantor itu.